Tentang "Eko Prasetyo" Penulis Kristis yang Minimalis

Kekaguman terhadap Eko Prasetyo

Sang Penulis Kritis yang Minimalis


Malam hari ini, tepat pukul 02.07 WIB di sebuah rumah mungil nan sederhana, aku menulis sebuah tulisan yang berisikan kekaguman pada seseorang yang sampai saat ini belum diberi waktu untuk bertemu beliau. Dia adalah seorang penulis, penulis kritis yang minimalis.


Beliau adalah Eko Prasetyo lahir pada tanggal 6 Januari 1972 di Kabupaten Pacitan, Jawa Timur, Indonsia. Yang artinya beliau sudah menginjak umur 45 tahun. Beliau sudah menjadi seorang ayah, yang sementara ini mengontrak di sebuah rumah di daerah Kotagede, Yogyakarta. Beliau adalah mahasiswa yang telah lulus dari Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII). Beliau adalah Eko Prasetyo, yang terkenal akan bukunya yang sangat menyinggung keadaan di Indonesia yaitu "Orang Miskin Dilarang Sekolah!"




Sang aktivis sekaligus penulis yang kritis ini pernah terlibat dalam TPM (Tim Pembela Muslim) untuk advokasi beberapa kasus hukum yang menimpa Laskar Jihad. Selain itu juga terlibat menulis buku untuk penerbitan Laskar Jihad yang berjudul "Tragedi Kebun Cengkeh" (2002) bersama Ustadz Ayip Syafruddin.



Keterlibatan yang mendorongnya untuk terus berdoa, agar Islam sebagai agama menjadi kekuatan yang mampu melawan segala bentuk kesewenang-wenangan. Hingga kini ia memilih untuk mempercayai bahwa Tuhan sangat pemurah dan penyayang pada semua orang yang memiliki nyali untuk melawan penindasan.



Saat ini juga, beliau aktif di SMI dan dapat membuktikan bahwa beliau tidak saja pandai menulis buku-buku yang berisi kritikan terhadap apa yang kurang mapan, namun sekaligus mengamini sebaris puisi Rendra yang berjudul Paman Doblang: “bahwa perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata”. Maka, sungguh tak rugi dan tak salah jika saya mengagumi beliau melalui tulisan-tulisannya.



Sementara, apa itu SMI? SMI adalah singkatan dari Social Movement Institute. SMI merupakan wadah pergerakan yang membela masyarakat tani, nelayan, buruh, atau religius yang termarjinalkan. SMI juga berupaya menyadarkan masyarakat, terutama para mahasiswa, untuk bersikap kritis dan tanggap terhadap isu-isu sosial di sekitarnya.



Tak hanya apresiatif, pria yang pernah belajar langsung kepada Dr. Mansour Fakih ini juga menyadarkan kami bahwa peran keilmuan psikologi, terutama psikologi sosial, sangat dinantikan untuk memasuki dan menjawab bencana sosial di masyarakat. Selama ini para penggiat sosial dan kebijakan masih terfokus kepada sistem atau isu penegakan HAM, demokrasi dan advokasi, tapi sering melupakan dampak psikologis atas bencana tersebut. Secara umum, para profesional dan ilmuwan psikologi masih nyaman dengan jualan-jualan psikoterapi-nya dan sibuk memprediksi diagnosis klinis, kepintaran serta bakat individu. Permasalahan seperti trauma, kemampuan coping, atau resiliensi para korban bencana sosial nampak jarang disentuh. Padahal, konflik dan aksi kekerasan yang kerap menjadi bumbu bencana itu terbukti berhasil melahirkan trauma dan kekerasan lain di pihak korban. Pada kasus-kasus seperti inilah psikologi musti turut mengatasinya.



Keterlenaan para ilmuwan, intelektual, cendekiawan, tak hanya berhenti di situ. Secara umum yang menyedihkan adalah bagaimana komunitas, organisasi, pergerakan mahasiswa yang seharusnya melek dan kritis terhadap isu-isu sosial di sekitarnya justru semakin tertidur. Sebagai produk-produk kampus akademis nan kapitalis, para mahasiswa semacam kehilangan orientasi peran sosialnya. Mahasiswa hanya terkukung oleh budaya akademis eksklusif tanpa membuka mata terhadap dunia di luar keilmuannya. Sebut saja, misalnya, mahasiswa teknik yang lebih tertarik untuk memajukan penemuan-penemuan teknologinya namun tanpa didasari dan disadari kebermanfaatan dan hubungannya dengan permasalahan di masyarakat.



Keterlenaan lain yang diingatkan pula oleh Mas Eko adalah pendidikan yang semakin tinggi semakin membuat intoleransi. Para ilmuwan, intelektual, cendekiawan juga menjadi gampang terpengaruh oleh propaganda-propaganda yang disebarkan lewat media sosial. Disini, lagi-lagi budaya kritis semakin kehilangan eksistensinya. Oleh karena itu, sangat diperlukan komunitas, organisasi, pergerakan mahasiswa yang tak hanya pandai berwacana secara akademik, tetapi juga secara sosial. Minimal dengan menghidupkan budaya diskusi dan literasi, syukur-syukur kalau sampai ke aksi.



Pemahaman tersebut lahir dari sebuah analisis dalam pikiran yang beliau, yang memang pada faktanya pada zaman ini sudah begitu adanya. Pemahaman tersebut selalu beliau sebarkan kepada pejuang-pejuang yang seharusnya berjuang di jalan ini.



Selain itu, beliau aktif menulis di website IndoPROGRESS. Tulisan beliau disana sangat mengkritisi banyak aspek kehidupan mulai dari politik, pendidikan, ekonomi, dan lain sebagainya.



Tidak dapat dipungkiri, wajar ketika saya sebagai mahasiswa yang belum menjadi "maha" sesungguhnya sangat memuja beliau sebagai pejuang masyarakat. Apa daya saya sebagai mahasiswa yang seharusnya menerapkan salah satu Tri Dharma Perguruan Tinggi yang salah satu isinya adalah pengabdian kepada masyarakat, belum bisa melakukan hal yang kongkret dan bermanfaat untuk masyarakat.

Komentar

  1. Pas jadi mahasiswa bang eko ikut organisasi mahasiswa eksternal apa ya.?

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Film - Rectoverso 'Cinta yang Tak Terucap'

Ikhtiar Review - Jurnal PAI